A. Pengertian
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana mempersepsikan klien sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren : persepsi palsu. ( Maramis, 2005).
Menurut Hawari (2001), halusinasi adalah pengalaman panca indra tanpa adanya rangsangan (stimulus), misalnya penderita mendengar suara-suara bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suatu bisikan itu.
Halusinasi adalah persepsi sensori yang keliru dan melibatkan panca indra. ( Isaacs, 2002 ).
Menurut Townsend (2001), halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang melekat disertai suatu pengurangan berlebih-lebihan.
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indra tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan. (Nasution,2003).
Menurut Izzudin (2005), halusinasi adalah sensasi panca indra tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indra tersebut.
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah. ( Stuart, 2007 ).
Menurut Kusumawati ( 2010 : 107 ), halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien menyatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara.
B. Rentang Respon Neurobiologi
Menurut Stuart dan laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan). Klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan.
Persepsi yaitu adalah salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi (klien mengalamai ilusi jika interprestasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus yang diterima rentang respon tersebut digambarkan seperti pada gambar.

Respon adaptif meliputi :
1. Pikiran logis
yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2. Persepsi akurat
yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3. Emosi konsisten
yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau efek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
4. Perilaku sesuai
yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada didalam maupun diluar dirinya.
5. Hubungan sosial
yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaiannya masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya umum yang berlaku.
Respon maladaptif meliputi :
1. Kelainan pikiran
yaitu manifestasi dari persepsi impuls enternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak kemudian di interprestasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.
2. Waham
yaitu suatu kepercayaan yang salah/ bertentangan dengan kenyataan dan tidak tetap pada pemikiran seseorang dan latar belakang sosial budaya.
3. Halusinasi
yaitu merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana mempersepsikan klien sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren : persepsi palsu.
4. Sulit berespon
yaitu individu mulai menyimpang maka iya akan berespon secara maladaptif dan klien sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang.
5. Ketidak aturan
yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum yang berlaku.
6. Isolasi sosial
yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkunngan sosial dalam berinteraksi.
C. Penyebab Halusinasi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi :
1. Faktor Predisposisi
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
1). Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
2). Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3). Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil. (cerebellum) Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi. (post-mortem)
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
D. Proses Terjadinya Halusinasi
Fase-fase halusinasi menurut Farida dan Yudim, (2010.hal 107) berkembang melalui empat fase, yaitu sebagai berikut :
1. Fase Pertama
Disebut juga dengan fase conforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik : klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
2. Fase Kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi menjijikkan. Termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik : pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengontrolnya.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas.
3. Fase Ketiga
Adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase Keempat
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya. Termasuk dalam Psikotik berat.
Karakteristik : halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain dilingkungan.
E. Jenis – Jenis Halusinasi
Menurut Stuart (2007), halusinasi terdiri dari tujuh jenis. Penjelasan secara detail mengenai karakteristik dari setiap jenis halusinasi sebagai berikut :
(1) Pendengaran ( auditory )
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
(2) Penglihatan ( visual )
Stimulus visual dalam bentuk melihat cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan biasa yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat moster.
(3) Perabaan ( Taktil )
Mengalami nyeri atau ketidak nyamanan tanpa stimulus yang jelas.
(4) Penghidu ( Olvaktory)
Bau-baunya yang tercium berasal dari tempat yang spesifik atau tidak bisa diketahui.
(5) Pengecapan ( Gustatory)
Merasa mengecap rasa seperti aliran darah vena, arteri, rasa darah , urin dan feses.
(6) Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah vena atau arteri
(7) Kinestetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
F. Akibat dari Halusinasi
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori halusinasi dapat mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Biasanya pasien menunjukkan perilaku sebagai berikut :
1. Memperlihatkan permusuhan.
2. Mendekati orang lain dengan ancaman.
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai.
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan .
5. Mempunyai rencana untuk melukai.
( Menurut Stuart , 2007)
G. Tanda dan Gejala
Menurut hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi :
1. Berbicara, Tersenyum, dan tertawa sendiri.
2. Sulit berhubungan dengan orang lain.
3. Ekspresi muka tegang.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
5. Pengerakan mata yang tepat.
6. Respon verbal yang lambat.
H. Penata laksanaan pada pasien halusinasi
Pengelolaan halusinasi menurut Maslim ( 2001: 57 ).
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik. Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada. Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
3. Memberi aktivitas pada pasien. Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
4. Melaksanakan program terapi dokter
a. Tipikal
1) Fenotiazin
Secara umum Fenotiazine menghambat kerja norefinefrin menimbulkan efek sedative dan hipotensi pada awal pengobatan.
a). Chlorpromazine
Mekanisme kerja antipsikotik ini yang tepat belum dipahami sepenuhnya namun mungkin berhubungan dengan efek antidopaminergik, antipsikotik dapat menyekat reseptor dopamine postsinaps pada ganglia basal, hipotalamus, sistem limbic, batang otak dan medulla. Juga berhubungan dengan penghambatan neurotransmisi mediasi dopamin pada sinaps apabila diberikan saat akan tidur.
Efek dari obat psikotropik dapat meningkatkan kualitas tidur dan mengurangi efek samping hipotensi, dosis harian 200 – 1600 mg.
b). Flutenazin
Mekanisme kerjanya sama dengan Chlorpromazine, tepat untuk pemberian jangka panjang untuk mempertahankan ketaatan minum obat dan mencegah kekambuhan pada klien yang bermasalah dalam minum obat. Mempunyai durasi kerja 7 s/d 28 hari, dosis harian 2,5 – 20 mg.
c). Perfenazin
Mekanisme kerjanya sama dengan Chlorpromazine, efek sampingnya sama dengan golongan Fenotiazin yang lain. Ketika obat golongan Fenotiazin ini mempunyai efek sedative yang kuat, menurunkan tekanan darah dan menimbulkan efek samping esktirapiramidal sindrom, mempunyai waktu yang panjang sehingga cenderung mengalami okumulasi atau penumpukan. dalam kondisi cair obat lebih mudah di absorbsi. Obat ini > 90 % berikatan dengan protein pemberian peroral pada laki-laki obat akan bekerja 4 – 6 jam setelah pemberian dan pada perempuan 2 – 4 jam setelah pemberian. Pemberian IM pada laki-laki 3 – 4 jam setelah pemberian obat akan bekerja dan pada perempuan obat akan bekerja setelah 30 menit. Pemberian melalui IV pada perempuan 10 menit setelah pemberian.
(1) Kontrak indikasi
(a) Gangguan hati, penyakit koroner, hupotensi berat.
(b) Penyakit kardiovaskuler, gangguan hati yang berat.
(c) Depresi, sumsum tulang.
(d) Serangan kejang.
(2) Efek samping
(a) Sakit kepala, Konstipasi, retensi urine.
(b) Hipotensi, mulut kering.
(c) Mata kering, penglihatan kabur, urine berwarna merah muda sampai merah.
(3) Reaksi yang merugikan
(a) Anemia.
(b) Agranulositosis, leucopenia.
(c) Takikardi payah sirkulasi.
(d) Serangan kejang.
2) Nonfenotiazin / Butirofenon :Holoperidol.
Mekanisme kerja antipsikotif haloperidol yang tepat belum dipahami sepenuhnya. Tetapi tampaknya menekan pada tingkat Subkortikal Fomasi Retigular otak, batang otak, diperkirakan menghambat sistem aktivasi reticular aseden batang otak juga dapat menghambat reseptor katekolamin seperti juga pengambilan kembali berbagai neurotransmitter dopamine, haloperidol memiliki durasi empat minggu, dosis harian 2 – 20 mg, mempunyai waktu paru yang panjang dan tinggi berkaitan dengan protein sehingga obat ini dapat diakumulasikan, haloperidol mengubah neurotransmitter dopamine dengan menghambat reseptor dopamine sehingga sedasi dapat terjadi, dapat digunakan untuk mengatasi gejala gelisah pada psikosis. Pemberian peroral pada laki-laki, obat akan mulai kerja 8 – 10 jam dari pemberian sedangkan pada perempuan obat akan bekerja setelah 2 – 6 jam pemberian, pemberian melalui IM pada laki-laki obat akan bekerja setelah 4 – 8 jam pemberian dan pada perempuan 30 – 40 menit pemberian.
a) Kontra indikasi
Gloukoma sudut sempit, penyakit hati, kardiovaskuler yang berat.
b) Efek samping
Fotosensitifitas, ruam kulit, mulut kering, penglihatan kabur.
b. Atipikal
1). Klozapin ( clozaril ) : berguna untuk menangani klien yang resisten terhadap obat lain atau pada saat adanya efek samping yang tidak dapat diterima, diberikan pada klien yang tidak toleran atau refrakter terhadap obat-obat lama, klozapin sangat efektif untuk mengatasi halusinasi, waham dan gangguan isi piker, Klozapin menyebabkan tidak adanya akatisia rigitas muscular (perasaan tidak berdaya, kebutuhan bergerak yang penting ), tidak dapat digunakan sebagai terapi jalur utama karena adanya ambang kejang yang rendah atau 1 – 2 % potensial terjadi agranulositosis, kombinasi obat klozopin dan flufenazin dan haloperidol mungkin tepat untuk beberapa pasien, dosis harian 150 – 500 mg.
2). Olanzapine (ziprexa) : menjadi pilihan obat jalur pertama target reseptor dopamine D yang spesifik akan muncul secara tidak lazim dalam jumlah yang banyak pada klien dengan skizofrenia, obat terlihat seperti dapat ditoleransi dengan baik banyak efek samping yang muncul akibat terkait dosis dan interaksi obat tidak diketahui dapat memberi dampak pada plasma dan keefektifannya, dosis harian 5 – 15 mg lebih sedikit menimbulkan gejala ekstrapiramidal dibanding risperidon menimbulkan peningkatan berat badan.
3). Risperidon ( risperidal ) : agen terapeutik yang efektif yang dapat dikaitkan dengan rasa tidak nyaman atau efek samping yang serius terutama agranulositosis, dosis oral harian 2- 8 mg lebih sedikit lebih sedikit efek samping dapat mengatasi gejala positif sekaligus gejala negatif.
I. Manifestasi Klinis
Manisfestasi klien perubahan persepsi sensori halusinasi pendengaran adalah berbicara dan tertawa sendiri, bisikan seperti mendengarkan sesuatu (memiringkan kepala ke satu sisi seperti jika seseorang mendengarkan sesuatu). Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu, disorentasi, konsentrasi rendah, pikiran cepat, berubah-ubah kekacauan alur pikir dan respon-respon yang tidak sesuai.
(Townsend, 1998 : 156).
J. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi :
a. Regresi (kemunduran), kembali ke perilaku awal / menjadi malas.
b. Proyeksi, mencoba menjelaskan tentang persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab orang lain / suatu benda.
c. Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
e. Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
f. Proyeksi: menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
g. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal. (Stuar : 2007).
Mekanisme koping merupakan kiat supaya yang diarahkan pada pengendalian stres, termasuk percaya menyelesaikan masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri. (Fitria, 2009 : 57).
K.
Pohon Masalah

L. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran.
2. Isolasi sosial : menarik diri.
3. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
M. Fokus Intervensi
Proses keperawatan klien dengan halusinasi pendengaran menurut Keliat (2005) adalah sebagai berikut :
1. Diagnosa perubahan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran
a. Tujuan Umum
Klien tidak mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
b. Tujuan Khusus
1). Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil :
Ekspresi wajah bersahabat, menujukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapinya.
Intervensi :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a). Sapa klien dengan ramah, baik verbal maupun non verbal.
b). Perkenalkan diri dengan sopan.
c). Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d). Jelaskan tujuan pertemuan dengan klien.
e). Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
f). Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
2). Klien dapat mengenal halusinasinya
Kriteria hasil :
a). Klien dapat menyebutkan waktu, isi dan frekuensi timbulnya halusinasi.
b). Klien dapat mengungkapkan bagaimana perasaannya terhadap halusinasi tersebut.
Intervensi :
a). Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
b). Observasi tingkah laku klien yang terkait dengan halusinasinya : bicara dan tertawa sendiri tanpa stimulus dan memandang kekiri / kekanan / kedepan seolah-olah ada teman bicara.
c). Bantu klien mengenal halusinasinya :
1). Jika menemukan klien sedang berhalusinasi : tanyakan apakah ada suara yang didengarnya.
2). Jika klien menjawab ada, lanjutkan : apa yang dikatakan suara itu.
3). Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh / menghakimi ).
4). Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti klien.
5). Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
d). Diskusikan dengan klien.
1). Situasi yang menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi (jika sendiri, jengkel atau sedih).
2). Waktu frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang sore, dan malam) terus-menerus atau sewaktu-waktu.
e). Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah/takut, sedih, dan senang), beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
3). Klien dapat mengontrol halusinasinya
Kriteria hasil :
a). Klien dapat menyebukan tindakan yang biasanya dilakukan jika untuk mengendalikan halusinasinya :
Intervensi :
(1) Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll).
(2) Diskusikan manfaat dari cara yang digunakan klien jika bermanfaat beri pujian kepada klien.
b). Klien dapat menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi.
Intervensi :
Diskusikan dengan klien tentang cara baru mengontrol halusinasinya.
(1) Menghardik / mengusir / tidak memperdulikan halusinasinya.
(2) Bercakap-cakap dengan orang lain jika halusinasinya muncul.
(3) Melakukan kegiatan sehari-hari.
c). Klien dapat mendemonstrasikan cara menghardik / mengusir / tidak memperdulikan halusinasinya.
Intervensi :
(1) Berikan contoh menghardik halusinasi : “Pergi saya tidak mau mendengar kamu, saya mau mencuci piring / bercakap-cakap dengan perawat.
(2) Minta klien mengikuti contoh yang diberikan dan minta klien mengulanginya.
(3) Beri pujian atas keberhasilan klien.
(4) Susun jadwal latihan klien dan minta klien untuk mengisi jadwal kegiatan.
(5) Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaan klien setelah menghardik ? apakah halusinasinya berkurang ? “, berikan pujian.
d). Klien dapat mendemonstrasikan bercakap-cakap dengan orang lain.
Intervensi :
(1) Beri contoh percakapan dengan orang lain : “mbak, saya mendengar suara-suara, temani saya bercakap-cakap”.
(2) Minta klien mengikuti contoh percakapan dan mengulanginya.
(3) Beri pujian atas keberhasilan klien.
(4) Susun jadwal klien untuk melatih diri, mengisi kegiatan dengan bercakap-cakap dan mengisi jadwal kegiatan.
(5) Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaannya setelah latihan bercakap-cakap ? apakah halusinasinya berkurang ?” berikan pujian.
e). Klien dapat mendemonstrasikan pelaksanaan kegiatan sehari-hari.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang kegiatan harian yang dapat dilakukan dirumah dan dirumah sakit.
(2) Latih klien untuk melakukan kegiatan yang disepakati dan masukkan kedalam jadwal kegiatan minta klien mengisi jadwal kegiatan.
(3) Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaan klien setelah melakukan kegiatan harian ? apakah halusinasinya berkurang? “. Berikan pujian.
f). Klien dapat mengikuti TAK
Intervensi :
Anjurkan klien untuk mengikuti TAK, orientasi realita, stimulasi persepsi.
g). Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah halusinasi.
Intervensi :
(1) Klien dapat menyebutkan jenis, dosis dan waktu minum obat serta manfaat obat tersebut (prinsip 5 benar, benar orang,obat, dosis, waktu, cara).
(a) Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminum (nama, warna dan besarnya, waktu minum obat, dosis, cara).
(b) Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara teratur :
(i). Beda perasaan sebelum dan setelah minum obat.
(ii). Jelaskan bahwa dosis hanya boleh diubah oleh dokter.
(iii). Jelaskan tentang akibat minum obat tidak teratur, misalnya penyakit kambuh.
(2) Klien mendemonstrasikan kepatuhan umum obat sesuai jadwal yang ditetapkan.
(a) Diskusikan proses minum obat
(i). Klien meminta obat kepada perawat (jika di RS), kepada keluarga (jika dirumah).
(ii). Klien memberikan obat sesuai dosisnya.
(iii). Klien meminum obat pada waktu yang tepat.
(b) Susun jadwal minum obat pada waktu yang tepat.
(3) Klien mengevaluasi kemampuannya dalam mematuhi minum obat.
(a) Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan mengisi jadwal kegiatan harian.
(b) Validasi pelaksanaan minum obat klien.
(c) Beri pujian atas keberhasilan klien.
(d) Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaan klien dengan meminum obat secara teratur? Apakah keinginan marahnya berkurang?”.
4). Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
(a) Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi.
Intervensi :
Diskusikan dengan keluarga (pada saat keluarga berkunjung atau pada saat kunjungan dirumah):
(1) Gejala halusinasi yang dialami klien.
(2) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarganya untuk memutuskan halusinasi (sama seperti yang diajarkan kepada klien).
(3) Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah : beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama, jika klien sedang sendirian dirumah, lakukan kontak dengan sering melalui telepon.
(4) Beri informasi tentang waktu tindakan lanjut atau kapan perlu mendapat bantuan : halusinasi tidak terkontrol dan resiko mencederai orang lain.
(b) Keluarga dapat menyebutkan jenis, dosis, waktu pemberian, manfaat serta efek samping obat.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan keluarga tentang jenis, dosis, waktu pemberian, manfaat dan efek samping obat.
(2) Anjurkan keluarga untuk berdiskusi dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat.
(3) Diskusikan akibat dari berhenti minum obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu.
2. Isolasi sosial : menarik diri
a. Tujuan Umum
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi.
b. Tujuan Khusus
1). Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria evaluasi :
Ekspresi wajah bersahabat menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Intervensi :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
a). Sapa klien dengan nama baik verbal maupun nonverbal.
b). Perkenalkan diri dengan sopan.
c). Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien.
d). Jelaskan tujuan pertemuan.
e). Jujur dan menepati janji.
f). Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g). Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien.
2). Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri yang berasal dari :
a). Diri sendiri.
b). Orang lain.
c). Lingkungan.
Intervensi:
a). Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tandanya.
(1) “Dirumah, ibu tinggal dengan siapa”.
(2) “Siapa yang paling dekat dengan ibu”.
(3) “Apa yang membuat ibu dekat dengannya”.
(4) “Dengan siapa ibu tidak dekat”.
(5) “Apa yang membuat ibu tidak dekat”.
b). Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan yang menyebabkan klien tidak mau bergaul.
c). Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.
3). Klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
Kriteria evaluasi :
a). Klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
Misalnya :
(1) Banyak teman
(2) Tidak sendiri
(3) Bisa diskusi, dll.
Intervensi :
(1) Kaji pengetahuan klien tentang keuntungan memiliki teman.
(2) Beri kesempatan kepada klien untuk berinteraksi dengan orang lain.
(3) Diskusikan bersama klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
(4) Beri penguatan positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
b). Klien dapat menyebutkan kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain.
Misalnya :
(1) Sendiri
(2) Tidak memiliki teman
(3) Sepi, dll.
Intervensi :
(1) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain.
(2) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
(3) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
(4) Beri penguatan positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
4). Klien dapat melaksanakan interaksi sosial secara bertahap.
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mendemonstrasikan interaksi sosial secara bertahap antara:
a). Klien – perawat .
b). Klien – perawat – perawat lain.
c). Klien – perawat – perawat lain – klien.
d). Klien – keluarga/kelompok masyarakat.
Intervensi :
a). Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
b). Bermain peran tentang cara berhubungan / berinteraksi dengan orang lain.
c). Dorong dan Bantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain melalui tahap :
(1) Klien – perawat.
(2) Klien – perawat – perawat lain.
(3) Klien – perawat – perawat lain – klien.
(4) Klien – keluarga/kelompok masyarakat.
d). Beri penguatan positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
e). Bantu klien untuk mengevaluasi keuntungan menjalin hubungan sosial.
f). Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu, yaitu berinteraksi dengan orang lain.
g). Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
h). Beri penguatan positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.
5). Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berinteraksi dengan orang lain.
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berinteraksi dengan orang lain untuk :
a). Diri sendiri
b). Orang lain
Intervensi :
a). Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berinteraksi dengan orang lain.
b). Diskusikan dengan klien tentang perasaan keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
c). Beri penguatan positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan keuntungan berhubungan dengan orang lain.
6). Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Kriteria evaluasi :
Keluarga dapat :
a). Menjelaskan perasaannya.
b). Menjelaskan cara merawat klien menarik diri.
c). Mendemontrasikan cara perawatan klien menarik diri.
d). Berpartisipasi dalam perawatan klien menarik diri
Intervensi :
a). Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
(1) Salam, perkenalan diri.
(2) Jelaskan tujuan.
(3) Buat kontrak.
(4) Eksplorasi perasaan klien.
b). Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
(1) Perilaku menarik diri.
(2) Penyebab perilaku menarik diri.
(3) Akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi.
(4) Cara keluarga menghadapi klien menarik diri.
c). Dorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada klien dalam berkomunikasi dengan orang lain.
d). Anjurkan anggota keluarga untuk secara rutin bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu .
e). Beri penguatan positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga.
3. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
a. Tujuan umum :
Klien tidak mencederai diri sendiri.
b. Tujuan Khusus :
1). Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria evaluasi :
(a) Klien mau membalas salam.
(b) Klien mau berjabat tangan.
(c) Klien mau menyebutkan nama.
(d) Klien mau kontak mata.
(e) Klien mau mengetahui nama perawat.
Intervensi :
a). Beri salam/panggil nama.
b). Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan .
c). Jelaskan maksud hubungan interaksi.
d). Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.
e). Beri rasa aman dan sikap empati.
f). Lakukan kontak singkat tetapi sering.
2). Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria evaluasi :
(a) Klien mengungkapkan perasaannya.
(b) Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal (dari diri sendiri, lingkungan, atau orang lain).
Intervensi :
a). Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
b). Bantu klien mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal.
3). Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
(a) Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah/jengkel.
(b) Klien dapat menyimpulkan tanda dan gejala jengkel/kesal yang dialaminya.
Intervensi :
a). Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakan nya saat jengkel/marah.
b). Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada klien.
c). Simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel / kesal yang dialami klien.
4). Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Kriteria evaluasi :
a). Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b). Klien dapat bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c). Klien dapat mengetahui cara yang biasa dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Intervensi :
a). Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien (verbal, pada orang lain, pada lingkungan, dan pada diri sendiri).
b). Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c). Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
5). Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menjelaskan dari cara yang digunakan klien
a). Akibat pada klien sendiri.
b). Akibat pada orang lain.
c). Akibat pada lingkungan.
Intervensi :
a). Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien.
b). Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan oleh klien.
c). Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6). Klien dapat mendemostrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
a). Klien dapat menjelaskan contoh pencegahan perilaku kekerasan secara fisik
(1) Tarik napas dalam.
(2) Pukul kasur dan bantal.
(3) Dll ; kegiatan fisik.
Intervensi :
(1) Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
(2) Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
(3) Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan, yaitu : tarik napas dalam dan pukul kasur serta bantal.
b). Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan cara melakukan tarik napas dalam dengan klien.
(2) Beri contoh kepada klien tentang cara menarik napas dalam.
(3) Minta klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 (lima) kali.
(4) Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik napas dalam.
(5) Tanyakan perasaan klien setelah selesai.
(6) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat marah/jengkel.
c). Klien mempunyai jadwal untuk melatih cara pencegahan fisik yang telah dipelajari sebelumnya.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien mengenai frekuensi latihan yang akan dilakukan sendiri oleh klien.
(2) Susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari.
d). Klien mengevaluasi kemampuannya dalam melakukan cara fisik sesuai jadwal yang telah disusun.
Intervensi :
(1) Klien mengevaluasi pelaksanaan latihan, cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah dilakukan dengan mengisi jadwal kegiatan harian (self-eveluation).
(2) Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan.
(3) Berikan pujian atas keberhasilan klien.
(4) Tanyakan kepada klien : “Apakah kegiatan cara pencegahan perilaku kekerasan dapat mengurangi perasaan marah”
7). Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
(a) Klien dapat menyebutkan cara bicara (verbal) yang baik dalam mencegah perilaku kekerasan .
(1) Meminta dengan baik.
(2) Menolak dengan baik.
(3) Mengungkapkan perasaan dengan baik.
Intervensi :
(1) Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
(b) Klien dapat mendemonstrasikan cara verbal yang baik.
Intervensi :
(1) Beri contoh cara bicara yang baik :
(a) Meminta dengan baik.
(b) Menolak dengan baik.
(c) Mengungkapkan perasaan dengan baik.
(2) Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik.
(a) Meminta dengan baik : “saya minta uang untuk beli makanan”.
(b) Menolak dengan baik : “maaf, saya tidak dapat melakukannya karena ada kegiatan lain”.
(c) Mengungkapkan perasaan dengan baik : “saya kesal karena permintaan saya tidak dikabulkan” disertai nada suara yang rendah.
(3) Minta klien mengulang sendiri.
(4) Beri pujian atas keberhasilan klien.
(c) Klien mempunyai jadwal untuk melatih cara bicara yang baik.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat dilatih diruangan, misalnya : meminta obat, baju, menolak ajakan merokok, tidur tidak pada waktunya, menceritakan kekesalan pada perawat.
(2) Susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari.
(d) Klien melakukan evaluasi terhadap kemampuan cara bicara yang sesuai dengan jadwal yang telah disusun.
Intervensi :
(1) Klien mengevaluasi pelaksanaan latihan cara bicara yang baik dengan mengisi jadwal kegiatan (sell-evaluation).
(2) Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan.
(3) Berikan pujian atas keberhasilan klien.
(4) Tanyakan kepada klien : ”Bagaimana perasaan Budi setelah latihan bicara yang baik? Apakah keinginan marah berkurang?”
8). Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan.
(a) Klien dapat menyebutkan kegiatan ibadah yang biasa dilakukan
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan.
(b) Klien dapat mendemonstrasikan cara ibadah yang dipilih.
Intervensi :
(1) Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat dilakukan diruang rawat.
(2) Bantu klien memilih kegiatan ibadah yang akan dilakukan.
(3) Minta klien mendemontrasikan kegiatan ibadah yang dipilih.
(4) Berikan pujian atas keberhasilan klien.
(c) Klien mempunyai jadwal untuk melatih kegiatan ibadah.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan ibadah.
(2) Susun jadwal kegiatan untuk melatih kegiatan ibadah.
(d) Klien melakukan evaluasi terhadap kemampuan melakukan kegiatan ibadah.
Intervensi :
(1) Klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan mengisi jadwal kegiatan (sell-evaluation).
(2) Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan.
(3) Berikan pujian atas keberhasilan klien.
(4) Tanyakan kepada klien : ”Bagaimana perasaan Budi setelah teratur melakukan ibadah? Apakah keinginan marah berkurang?”.
9). Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah perilaku kekerasan.
(a) Klien dapat menyebutkan jenis, dosis, dan waktu minum obat serta manfaat dari obat itu (prinsip 5 benar : benar orang, obat, dosis, waktu dan cara pemberian).
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminumnya (nama, warna, besarnya); waktu minum obat (jika 3 kali;pukul. 07.00, 13.00, 19.00); cara minum obat.
(2) Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara teratur :
(i). Bedakan perasaan sebelum minum obat dan sesudah minum obat.
(ii). Jelaskan bahwa dosis hanya boleh diubah oleh dokter.
(iii). Jelaskan mengenai akibat minum obat yang tidak teratur, misalnya penyakitnya kambuh.
(b) Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat sesuai jadwal yang ditetapkan.
Intervensi :
(1) Diskusikan tentang proses minum obat :
(i). Klien meminta obat kepada perawat (jika dirumah sakit), kepada keluarga (jika dirumah).
(ii). Klien memeriksa obat sesuai dosis.
(iii). Klien meminum obat pada waktu yang tepat.
(2) Susun jadwal minum obat bersama klien.
(c) Klien melakukan evaluasi kemampuannya dalam mematuhi minum obat.
Intervensi :
(1) Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan mengisi jadwal kegiatan harian (sell-evaluation).
(2) Validasi pelaksanaan minum obat klien.
(3) Berikan pujian atas keberhasilan klien.
(4) Tanyakan kepada klien : ”Bagaimana perasaan Budi dengan minum obat secara teratur? Apakah keinginan marah berkurang?”.
10). Klien dapat mengikuti TAK stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
(a) Klien dapat mengikuti TAK stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien untuk ikut TAK stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
(2) klien mengikuti TAK stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan (kegiatan sendiri).
(3) diskusikan dengan klien tentang kegiatan selama TAK.
(4) Fasilitasi klien untuk mempraktikan hasil kegiatan TAK dan beri pujian atas keberhasilannya.
(b) Klien mempunyai jadwal TAK stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK.
(2) Masukan jadwal TAK kedalam jadwal kegiatan harian klien.
(c) Klien melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan TAK.
Intervensi :
(1) Klien mengevaluasi pelaksanaan TAK dengan mengisi jadwal kegiatan harian (sell-evaluation).
(2) Validasi kemampuan klien dalam mengikuti TAK.
(3) Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK.
(4) Tanyakan kepada klien : ”Bagaimana perasaan Budi setelah melakuakan ikut TAK?”.
11). Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan perilaku kekerasan.
(a) Keluarga dapat mendemonstrasikan cara merawat klien.
Intervensi :
(1) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai dengan yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
(2) Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat klien.
(3) Jelaskan cara-cara merawat klien :
(i). Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.
(ii). Sikap dan cara bicara.
(iii). Membantu klien mengenal penyebab marah dan pelaksanaan cara pencegahan perilaku kekerasan.
(4) Bantu keluarga dapat mendemonstrasikan cara merawat klien.
(5) Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
(6) Anjurkan keluarga mempraktikannya pada klien selama dirumah sakit dan melanjutkannya setelah pulang ke rumah.
0 komentar:
Posting Komentar